Jakarta - Cakrawalaonline, Ikatan Wartawan Online (IWO) menyikapi perkembangan wartawan di era digital dengan pendekatan proaktif melalui advokasi kebebasan pers, peningkatan profesionalisme, dan penguatan organisasi.
Kebebasan pers di era digital ditandai oleh akses informasi yang lebih cepat dan luas melalui platform online, tetapi juga menghadapi sejumlah tantangan. Munculnya citizen journalism memperluas sumber informasi, meskipun sering kali tidak terikat kode etik jurnalistik.
"Pers menghadapi tantangan berupa Kriminalisasi dan intimidasi: Wartawan menghadapi risiko kriminalisasi melalui regulasi seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia, yang dapat digunakan untuk membungkam kritik," ujar Ketua Umum Ikatan Wartawan Online (IWO) Dwi Christianto, Sabtu, 3 Mei 2025.
"Meski saat ini, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan bahwa UU ITE tidak boleh diterapkan atau digunakan oleh institusi atau badan negara, terhadap pers," tambahnya.
Selain itu, Dwi mencermati maraknya media abal-abal dan hoaks. Pasalnya, tak dapat dipungkiri Kebebasan pers memunculkan media tidak terverifikasi yang menyebarkan propaganda atau informasi tidak akurat, merusak kredibilitas jurnalisme.
"Tekanan platform digital: Media sosial dan algoritma platform seperti, X, Google atau Facebook mengubah cara berita dikonsumsi, sering kali mengutamakan sensasi ketimbang kualitas. Krisis ekonomi media: Banyak media cetak beralih ke digital akibat penurunan pendapatan, memaksa wartawan bekerja dengan sumber daya terbatas," pungkas Dwi.
Seperti diketahui Laporan Reporters Without Borders (RSF) menunjukkan bahwa indeks kebebasan pers Indonesia pada 2020-2021 berada di posisi 113 dunia, dengan skor yang menurun akibat ancaman kelompok radikal, UU ITE, dan kekerasan terhadap wartawan. Selain itu, pandemi COVID-19 memperburuk situasi dengan pembatasan gerak wartawan dan ketergantungan pada sumber resmi pemerintah.
*Visi Misi IWO dan Kebebasan Pers*
Dwi Christianto menyatakan IWO memiliki visi untuk mewujudkan kebebasan pers yang profesional, sejahtera, dan demokratis, berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Kode Etik Wartawan Online.
IWO aktif melawan tindakan yang merugikan wartawan siber. Contohnya, pada 2013, IWO melaporkan Menteri ESDM Jero Wacik ke Bareskrim Polri atas pernyataan yang dianggap mencemarkan nama baik media siber, menuntut permintaan maaf dan klarifikasi publik.
"Pada pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (2024), IWO menyatakan harapan agar pemerintahan baru melindungi kebebasan pers dan mendukung transparansi, menegaskan peran pers sebagai pilar demokrasi," papar Dwi Christianto.
Menurutnya, IWO menekankan pentingnya wartawan siber mematuhi Kode Etik Jurnalistik untuk menjaga akurasi, independensi, dan integritas. Hal ini diwujudkan melalui pelatihan dan pendidikan bagi anggotanya.
"Kami mendorong kerja sama dengan Dewan Pers untuk memastikan lebih banyak wartawan memiliki kompetensi profesional melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Termasuk, agar media siber juga terverifikasi, mengurangi dampak media abal-abal," tuturnya.
"Ke depan, IWO dapat berkolaborasi dengan organisasi pers internasional seperti Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) untuk memperjuangkan standar kebebasan pers global. Kami terus mengembangkan program pelatihan digital, termasuk penggunaan alat verifikasi fakta dan analisis data, untuk membekali wartawan menghadapi tantangan hoaks dan algoritma platform," kata Dwi.
Dengan menjamurnya media siber, menurut Dwi IWO harus terus mendorong pelatihan intensif untuk meningkatkan literasi digital dan kemampuan verifikasi wartawan.
"IWO juga menekankan kesejahteraan wartawan, karena ekanan ekonomi di industri media digital sering kali membuat wartawan bekerja dengan upah rendah. Dwi menilai IWO dapat mengadvokasi model bisnis media yang berkelanjutan," ujar Ketum IWO Dwi Christianto ( Rilis.) ( Akril Achmad.).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar